Malam ini terasa begitu
tidak biasa. Lebih dingin serta suram. Aku tetap melangkah melanjutkan
perjalanan hari ini. Perjalanan lelah akibat rutinitas yang begitu-gitu saja. Samar-samar
terdengar suara sirine mobil polisi dari kejauhan ditambah hiruk pikuk desisan
warga yang panik dan takut. Aku langsung mendekap erat tas milikku yang
berisikan banyak benda berharga. Akhir-akhir ini sering banyak kasus pembunuhan
serta penjambretan di kota besar. Bulu kudukku langsung merinding mengingat
begitu banyak orang hilang di sebuah universitas. Kejahatan kini sudah tidak
bisa di prediksi berada di mana saja: tidak lagi di jalan besar, tidak lagi di
kala malam hari, tidak lagi di gang-gang sempit tetapi dapat dimana saja dan
kapan saja.
Suara sepatu hig heels 5 cm ku terdengar memecah
hening lorong gang sempit ini. Gang ini terlalu sepi bahkan tidak biasanya
seperti ini. Biasanya banyak laki-laki pemabuk maupun wanita menjajakan diri
berkeliaran disini tetapi sekarang hanya ada angin dan nyamuk serta binatang
kotor di gorong-gorong yang menemani langkahku berjalan. Aku terdiam dan sempat
melihat ke belakang, merasa diikuti adalah kebiasan yang dialami oleh banyak
orang yang berjalan sendirian. Aku menarik nafas dan menghembuskannya secara
perlahan. Dadaku yang perlahan naik kemudian turun mengikuti irama desahan
napas. Aku memegang rambutku yang baru saja dipotong pendek sebatas leher lalu
perlahan menyentuh belakang leherku. Tiba-tiba saja suasana terasa begitu dingin.
Aku bergidik ngeri dan
akhirnya sedikit berlari menerjang kelamnya malam ini. Di depan sana terlihat
hanya belokan ke kanan, tidak terlalu ingat diriku akan jalan satu ini, mungkin
hanya efek sedang lelah dan ketakutan membuat diriku tidak fokus. Kembali aku
lanjutkan jalanku menyusuri lorong-lorong gang sempit ini.
Sudah sekitar lebih dari
lima belas menit aku berjalan dan tidak kutemukan pula jalan keluarnya. Aku mendongkak ke atas dan melihat bulan
purnama yang memancarkan keindahannya. Sebuah tetesan air terjatuh tepat di pelupuk
mataku. Karena kaget aku mundur beberapa langkah sebagai bentuk responsif
tubuhku tanpa kusadari diriku menabrak sebuah tubuh yang besar. Aku langsung
membalikkan diri hendak untuk meminta maaf namun nyatanya di belakangku tidak
ada seorang pun. Hanya dengungan nyamuk saja.
Bulu kudukku begitu
merinding. Sayup-sayup aku mendengar suara nyanyian dari kejauhan diiringi oleh
gamelan khas jawa yang semakin memecah sunyinya malam ini. Mendadak semerbak
bau bunga memutar-mutar di hidungku hingga mencapai sel-sel neutron di otak.
Erangan nestapa tentang jeritan orang-orang pesakitan serasa menghantui diriku.
Tubuhku berdesir takut hingga tak karuan namun hanya untuk melangkahkan kaki
saja sampai tidak sanggup. Aku terbujur kaku berdiri di lorong gang sempit ini.
Semakin jelas suara
seorang wanita tua bernyanyi sambil menyinden. Dalam nada suara pelan, ringkih
dan halus tajam dengan khas Jawa. Aku hanya terdiam menahan nangis mendengar lirikan
dengungan lagu tersebut karena aku mengenal jelas lagu tersebut.
“…….sliramu tumeking sirno
Ojo Tangi nggonmu guling
…jo ngetoro…
…… kang tak utusi
…….kang tak utusi
dadyo sebarang
Wojo lelayu sebet….”
Tiba-tiba suara
benda-benda berjatuhan terasa begitu nyata pada kupingku. Aku masih tidak bisa
bergerak barang satu inci pun. Air mataku mulai menangis. “lingsir wengi….”, gumamku lirih dalam hati.
Sebuah tangan menyentuh
kaki kiriku. Tangan yang sangat dingin, kasar, dan begitu kelam. Aku menengok
ke bawah. Dengan mata telanjang aku melihat, satu buah tangan berwarna putih
kebiruan pekat menggenggam erat kakiku. Jari-jarinya panjang dan tidak
sebanding dengan ukuran telapak tangannya. Jari kukunya berwarna hitam sangat
dan menggores kulit kakiku hingga mengeluarkan darah. Aku berusaha berontak
namun tetap percuma. Diriku kini hanyalah sebuah boneka manekin belaka.
Kini terdengar semakin
jelas lagu tersebut di kepalaku. Terngiang-ngiang suara nenek yang dulu sering
menyanyikan lagu tersebut di depan keluarga besar diiringi ritual persembahan
hewan. Adegan itu begitu nyata ku ingat dalam gelap sebuah ruangan kecil yang
kuintip diam-diam lima belas tahun lalu.
“Lingsir wengi sliramu
tumeking sirno
Ojo Tangi nggonmu guling
awas jo ngetoro
aku lagi bang wingo wingo”
Sebuah
hembusan napas begitu dingin tepat berada di tengkuk leher belakangku. Tangan
di kaki kiriku tiba-tiba menggenggam keras hingga serasa tulang patah. Air mata
mengalir begitu deras dari pelupuk mataku. Helaian rambut panjang jatuh
menutupi pandanganku ke depan. Hembusan napas dingin itu kembali menyentuh
tengkuk belakang leherku. Mati rasa diriku kini mendengar jelas lagu tersebut
dinyanyikan.
“jin setan kang tak utusi
jin setan kang tak utusi
dadyo sebarang
Wojo lelayu sebet”
“Lingsir wengi sliramu
tumeking sirno
Ojo Tangi nggonmu guling
awas jo ngetoro
aku lagi bang wingo wingo
jin setan kang tak utusi
jin setan kang tak utusi
dadyo sebarang
Wojo lelayu sebet”
Alunan gamelan beserta lirik lagu lingsir wengi itu kini
merajai tubuhku hingga ke rongga-rongga terkecil sekalipun. Mendadak aku
merasakan betapa damai diriku. Suara kaki kuda melangkah menjauh terdengar
samar-samar. Tetapi langsung ku teringat pesan nenek, “suara yang jauh menunjukkan bahwa dia sedang di dekat kita…”,
bisiknya kepadaku dulu.
Aku tersungkur jatuh mendadak. Masih
kurasakan denyut sakit kakiku yang mungkin sekarang menyisakan bekas biru
kemerahan berbentuk genggaman telapak tangan. Tubuhku serasa begitu habis
tenaga. Kulihat bulan purnama yang kini bukan putih bercahaya tetapi berwarna
merah darah.
Aku menangis pelan dan mulai
bernyanyi lirih….
“Lingsir wengi sliramu
tumeking sirno
Ojo Tangi nggonmu guling
awas jo ngetoro
aku lagi bang wingo wingo
jin setan kang tak utusi
jin setan kang tak utusi
dadyo sebarang
Wojo lelayu sebet”
Namaku Dina – umurku 28 tahun. Aku
dinyatakan tewas akibat perampokan dan tabrak lari. Disinyalir pelaku
meninggalkan diriku tergeletak dalam kondisi hidup dengan kepala bocor. Akibat
pendarahan di kepala akhirnya aku menghembuskan napas terakhir. Di kota besar
kasus ini sudah begitu biasa terjadi namun yang mereka tidak ketahui kala itu
telah terjadi peristiwa lain.
Namaku Dina – umurku 28 tahun. Aku tewas
demi harta kekayaan dan kerakusan keluargaku sendiri. Perkiraanku aku
dikorbankan sebagai tumbal pesugihan karena kondisi keuangan yang sedang
memburuk, sedihnya hal itu dilakukan oleh ibuku sendiri.
Namaku Dina – umurku 28 tahun. Inilah diriku
yang bercerita, sejujurnya sesungguhnya kesepian di lorong gang sempit ini.
Bernyanyilah dan kunjungi diriku disini. Kapan saja…..
“Lingsir wengi sliramu
tumeking sirno
Ojo Tangi nggonmu guling
awas jo ngetoro
aku lagi bang wingo wingo
jin setan kang tak utusi
jin setan kang tak utusi
dadyo sebarang
Wojo lelayu sebet”