Pages

Selasa, 07 April 2015

LIRIH

Malam ini terasa begitu tidak biasa. Lebih dingin serta suram. Aku tetap melangkah melanjutkan perjalanan hari ini. Perjalanan lelah akibat rutinitas yang begitu-gitu saja. Samar-samar terdengar suara sirine mobil polisi dari kejauhan ditambah hiruk pikuk desisan warga yang panik dan takut. Aku langsung mendekap erat tas milikku yang berisikan banyak benda berharga. Akhir-akhir ini sering banyak kasus pembunuhan serta penjambretan di kota besar. Bulu kudukku langsung merinding mengingat begitu banyak orang hilang di sebuah universitas. Kejahatan kini sudah tidak bisa di prediksi berada di mana saja: tidak lagi di jalan besar, tidak lagi di kala malam hari, tidak lagi di gang-gang sempit tetapi dapat dimana saja dan kapan saja.
Suara sepatu hig heels 5 cm ku terdengar memecah hening lorong gang sempit ini. Gang ini terlalu sepi bahkan tidak biasanya seperti ini. Biasanya banyak laki-laki pemabuk maupun wanita menjajakan diri berkeliaran disini tetapi sekarang hanya ada angin dan nyamuk serta binatang kotor di gorong-gorong yang menemani langkahku berjalan. Aku terdiam dan sempat melihat ke belakang, merasa diikuti adalah kebiasan yang dialami oleh banyak orang yang berjalan sendirian. Aku menarik nafas dan menghembuskannya secara perlahan. Dadaku yang perlahan naik kemudian turun mengikuti irama desahan napas. Aku memegang rambutku yang baru saja dipotong pendek sebatas leher lalu perlahan menyentuh belakang leherku. Tiba-tiba saja suasana terasa begitu dingin.
Aku bergidik ngeri dan akhirnya sedikit berlari menerjang kelamnya malam ini. Di depan sana terlihat hanya belokan ke kanan, tidak terlalu ingat diriku akan jalan satu ini, mungkin hanya efek sedang lelah dan ketakutan membuat diriku tidak fokus. Kembali aku lanjutkan jalanku menyusuri lorong-lorong gang sempit ini.
Sudah sekitar lebih dari lima belas menit aku berjalan dan tidak kutemukan pula jalan keluarnya.  Aku mendongkak ke atas dan melihat bulan purnama yang memancarkan keindahannya. Sebuah tetesan air terjatuh tepat di pelupuk mataku. Karena kaget aku mundur beberapa langkah sebagai bentuk responsif tubuhku tanpa kusadari diriku menabrak sebuah tubuh yang besar. Aku langsung membalikkan diri hendak untuk meminta maaf namun nyatanya di belakangku tidak ada seorang pun. Hanya dengungan nyamuk saja.
Bulu kudukku begitu merinding. Sayup-sayup aku mendengar suara nyanyian dari kejauhan diiringi oleh gamelan khas jawa yang semakin memecah sunyinya malam ini. Mendadak semerbak bau bunga memutar-mutar di hidungku hingga mencapai sel-sel neutron di otak. Erangan nestapa tentang jeritan orang-orang pesakitan serasa menghantui diriku. Tubuhku berdesir takut hingga tak karuan namun hanya untuk melangkahkan kaki saja sampai tidak sanggup. Aku terbujur kaku berdiri di lorong gang sempit ini.
Semakin jelas suara seorang wanita tua bernyanyi sambil menyinden. Dalam nada suara pelan, ringkih dan halus tajam dengan khas Jawa. Aku hanya terdiam menahan nangis mendengar lirikan dengungan lagu tersebut karena aku mengenal jelas lagu tersebut.
“…….sliramu tumeking sirno
Ojo Tangi nggonmu guling
…jo ngetoro…
…… kang tak utusi
…….kang tak utusi
dadyo sebarang
Wojo lelayu sebet….”
Tiba-tiba suara benda-benda berjatuhan terasa begitu nyata pada kupingku. Aku masih tidak bisa bergerak barang satu inci pun. Air mataku mulai menangis. “lingsir wengi….”, gumamku lirih dalam hati.
Sebuah tangan menyentuh kaki kiriku. Tangan yang sangat dingin, kasar, dan begitu kelam. Aku menengok ke bawah. Dengan mata telanjang aku melihat, satu buah tangan berwarna putih kebiruan pekat menggenggam erat kakiku. Jari-jarinya panjang dan tidak sebanding dengan ukuran telapak tangannya. Jari kukunya berwarna hitam sangat dan menggores kulit kakiku hingga mengeluarkan darah. Aku berusaha berontak namun tetap percuma. Diriku kini hanyalah sebuah boneka manekin belaka.
Kini terdengar semakin jelas lagu tersebut di kepalaku. Terngiang-ngiang suara nenek yang dulu sering menyanyikan lagu tersebut di depan keluarga besar diiringi ritual persembahan hewan. Adegan itu begitu nyata ku ingat dalam gelap sebuah ruangan kecil yang kuintip diam-diam lima belas tahun lalu.
“Lingsir wengi sliramu tumeking sirno

Ojo Tangi nggonmu guling
awas jo ngetoro
aku lagi bang wingo wingo”

            Sebuah hembusan napas begitu dingin tepat berada di tengkuk leher belakangku. Tangan di kaki kiriku tiba-tiba menggenggam keras hingga serasa tulang patah. Air mata mengalir begitu deras dari pelupuk mataku. Helaian rambut panjang jatuh menutupi pandanganku ke depan. Hembusan napas dingin itu kembali menyentuh tengkuk belakang leherku. Mati rasa diriku kini mendengar jelas lagu tersebut dinyanyikan.
“jin setan kang tak utusi

jin setan kang tak utusi
dadyo sebarang
Wojo lelayu sebet”


“Lingsir wengi sliramu tumeking sirno

Ojo Tangi nggonmu guling
awas jo ngetoro
aku lagi bang wingo wingo

jin setan kang tak utusi

jin setan kang tak utusi
dadyo sebarang
Wojo lelayu sebet”


            Alunan gamelan  beserta lirik lagu lingsir wengi itu kini merajai tubuhku hingga ke rongga-rongga terkecil sekalipun. Mendadak aku merasakan betapa damai diriku. Suara kaki kuda melangkah menjauh terdengar samar-samar. Tetapi langsung ku teringat pesan nenek, “suara yang jauh menunjukkan bahwa dia sedang di dekat kita…”, bisiknya kepadaku dulu.
            Aku tersungkur jatuh mendadak. Masih kurasakan denyut sakit kakiku yang mungkin sekarang menyisakan bekas biru kemerahan berbentuk genggaman telapak tangan. Tubuhku serasa begitu habis tenaga. Kulihat bulan purnama yang kini bukan putih bercahaya tetapi berwarna merah darah.
            Aku menangis pelan dan mulai bernyanyi lirih….
“Lingsir wengi sliramu tumeking sirno

Ojo Tangi nggonmu guling
awas jo ngetoro
aku lagi bang wingo wingo

jin setan kang tak utusi

jin setan kang tak utusi
dadyo sebarang
Wojo lelayu sebet”


Namaku Dina – umurku 28 tahun. Aku dinyatakan tewas akibat perampokan dan tabrak lari. Disinyalir pelaku meninggalkan diriku tergeletak dalam kondisi hidup dengan kepala bocor. Akibat pendarahan di kepala akhirnya aku menghembuskan napas terakhir. Di kota besar kasus ini sudah begitu biasa terjadi namun yang mereka tidak ketahui kala itu telah terjadi peristiwa lain.

Namaku Dina – umurku 28 tahun. Aku tewas demi harta kekayaan dan kerakusan keluargaku sendiri. Perkiraanku aku dikorbankan sebagai tumbal pesugihan karena kondisi keuangan yang sedang memburuk, sedihnya hal itu dilakukan oleh ibuku sendiri.

Namaku Dina – umurku 28 tahun. Inilah diriku yang bercerita, sejujurnya sesungguhnya kesepian di lorong gang sempit ini. Bernyanyilah dan kunjungi diriku disini. Kapan saja…..
“Lingsir wengi sliramu tumeking sirno

Ojo Tangi nggonmu guling
awas jo ngetoro
aku lagi bang wingo wingo

jin setan kang tak utusi

jin setan kang tak utusi
dadyo sebarang
Wojo lelayu sebet”



0 komentar:

Posting Komentar