Pages

Senin, 27 April 2015

Fasilitas Internasional di Ujung Timur Indonesia



Kini, warga Papua akan segera mempunyai fasilitas olahraga baru berstandar internasional bernama Mimika Sport Complex (MSC) yang berlokasi di Kampung Limau Asri-SP5, Timika, Papua. Bangunan yang dibangun di atas lahan seluas 25 hektare ini nantinya akan menjadi salah satu fasilitas utama penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) 2020 di Papua dan pembangunannya baru rampung pada Desember 2015.
            Mimika Sport Complex terletak tepat di depan Rumah Sakit Mitra Masyarakat (RSMM), di dalamnya mencakup stadion atletik, track 400m, tribun timur dan barat, stadion indoor, asrama atlet putra dan putri, track pemanasan 150m, bangunan utilitas, kolam penampungan air, hingga pusat pertokoan.
            Semua fasilitas ini nantinya akan dikelola secara profesional oleh PT Freeport Indonesia, salah satu perwakilan dari Freeport menyatakan "PT Freeport Indonesia sedang menyiapkan satu gugus tugas bersama Pemkab Mimika dan KONI untuk merawat dan memelihara fasilitas MSC, apakah bentuknya melalui sebuah yayasan atau badan usaha milik daerah. Melalui pemeliharaan yang baik, fasilitas ini bisa menjadi salah satu yang terbaik di Papua untuk mendukung suksesnya PON 2020." Ujar , Deny Hudijana selaku Senior Manajer LL Infrastructure PT Freeport kepada Antara di Timika, Jumat.
            Selain itu, dalam rangka menjaga dan merawat MSC, Deny juga mengatakan untuk kedepannya akan diundang beberapa ahli yang berpengalaman untuk mengelola fasilitas MSC agar kondisinya tetap terawat hingga penyelenggaraan PON 2020. "Kami juga sudah melakukan studi banding ke Senayan dan tempat-tempat lain untuk mempelajari bagaimana kiat mereka mengelola fasilitas seperti ini sehingga tetap terawat secara baik," jelasnya.
          Pembangunan MSC didukung sepenuhnya oleh PT Freeport, untuk itu, Yopi Kilangin selaku Ketua Umum KONI dan tokoh masyarakat Mimika menghimbau kepada semua pihak di Kabupaten ini, dapat terus mendukung PT Freeport Indonesia beroperasi secara lancar agar pembangunan MSC dapat terealisasi sesuai target waktunya. Semoga dengan adanya fasilitas ini, Papua banyak melahirkan atlit-atlit baru yang bisa mengharumkan nama Indonesia, khususnya Papua.  

Source:

Jumat, 17 April 2015

INSTITUT PERTAMBANGAN NEMANGKAWI UNTUK PAPUA










Berawal dari keinginan untuk memberdayakan masyarakat lokal di wilayah sekitar daerah operasi PT Freeport Indonesia (PTFI) maka dibangunlah Institut Pertambangan Nemangkawi (IPN). Sekolah tersebut dikelola oleh Departemen Quality Management Services (QMS) PTFI.

Sekolah tersebut berdiri di lokasi seluas 6 ha di kawasan Light Industrial Park (LIP), Kuala Kencana. IPN dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas kelas dunia, seperti sepuluh simulator untuk truk Caterpilar dan Western Star, tiga area simulasi  tambang bawah tanah yang dilengkapi fasilitas untuk hauling, loading, dumping, ventilasi dan jackleg. Untuk masalah staff pengajar memiliki lebih dari 300 instruktur yang terakreditasi secara internasional.

IPN merupakan sebuah sekolah yang bertujuan untuk menyiapkan tenaga-tenaga terampil dan kompeten di sektor pertambangan. Sejak  2003, IPN telah melatih 425 mekanik alat berat, lebih dari 540 operator alat berat, dan lebih dari 500 pekerja tambang bawah tanah. IPN memiliki sejumlah program pelatihan dan pendidikan, yaitu program Pra-Magang, Program Pemagangan, Program Pendidikan Orang Dewasa, Program Master of Business Administration (MBA), Program Administrasi Niaga D-3 dan Program Pelatihan dan Pengembangan Karyawan PTFI.

Salah satu kisah sukses datang dari Elias Bidaugi Pigome atau lebih dikenal dengan EPI. Di kala itu dia adalah kandidat pra-magang di IPN. Setelah mengabdi sebagai pra magang di bagian Administrasi selama beberapa tahun akhirnya dia bekerja sebagai karyawan tetap di PTFI bahkan tahun 2007, akhirnya EPI berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Teknik Geologi Trisakti atas beasiswa PTFI dan berhasil lulus pada awal Mei 2013 silam.


Source:

https://adityadicky.wordpress.com/category/uncategorized/page/9/
http://ptfi.co.id/id/media/news/earnestness-brings-skill

Selasa, 07 April 2015

LIRIH

Malam ini terasa begitu tidak biasa. Lebih dingin serta suram. Aku tetap melangkah melanjutkan perjalanan hari ini. Perjalanan lelah akibat rutinitas yang begitu-gitu saja. Samar-samar terdengar suara sirine mobil polisi dari kejauhan ditambah hiruk pikuk desisan warga yang panik dan takut. Aku langsung mendekap erat tas milikku yang berisikan banyak benda berharga. Akhir-akhir ini sering banyak kasus pembunuhan serta penjambretan di kota besar. Bulu kudukku langsung merinding mengingat begitu banyak orang hilang di sebuah universitas. Kejahatan kini sudah tidak bisa di prediksi berada di mana saja: tidak lagi di jalan besar, tidak lagi di kala malam hari, tidak lagi di gang-gang sempit tetapi dapat dimana saja dan kapan saja.
Suara sepatu hig heels 5 cm ku terdengar memecah hening lorong gang sempit ini. Gang ini terlalu sepi bahkan tidak biasanya seperti ini. Biasanya banyak laki-laki pemabuk maupun wanita menjajakan diri berkeliaran disini tetapi sekarang hanya ada angin dan nyamuk serta binatang kotor di gorong-gorong yang menemani langkahku berjalan. Aku terdiam dan sempat melihat ke belakang, merasa diikuti adalah kebiasan yang dialami oleh banyak orang yang berjalan sendirian. Aku menarik nafas dan menghembuskannya secara perlahan. Dadaku yang perlahan naik kemudian turun mengikuti irama desahan napas. Aku memegang rambutku yang baru saja dipotong pendek sebatas leher lalu perlahan menyentuh belakang leherku. Tiba-tiba saja suasana terasa begitu dingin.
Aku bergidik ngeri dan akhirnya sedikit berlari menerjang kelamnya malam ini. Di depan sana terlihat hanya belokan ke kanan, tidak terlalu ingat diriku akan jalan satu ini, mungkin hanya efek sedang lelah dan ketakutan membuat diriku tidak fokus. Kembali aku lanjutkan jalanku menyusuri lorong-lorong gang sempit ini.
Sudah sekitar lebih dari lima belas menit aku berjalan dan tidak kutemukan pula jalan keluarnya.  Aku mendongkak ke atas dan melihat bulan purnama yang memancarkan keindahannya. Sebuah tetesan air terjatuh tepat di pelupuk mataku. Karena kaget aku mundur beberapa langkah sebagai bentuk responsif tubuhku tanpa kusadari diriku menabrak sebuah tubuh yang besar. Aku langsung membalikkan diri hendak untuk meminta maaf namun nyatanya di belakangku tidak ada seorang pun. Hanya dengungan nyamuk saja.
Bulu kudukku begitu merinding. Sayup-sayup aku mendengar suara nyanyian dari kejauhan diiringi oleh gamelan khas jawa yang semakin memecah sunyinya malam ini. Mendadak semerbak bau bunga memutar-mutar di hidungku hingga mencapai sel-sel neutron di otak. Erangan nestapa tentang jeritan orang-orang pesakitan serasa menghantui diriku. Tubuhku berdesir takut hingga tak karuan namun hanya untuk melangkahkan kaki saja sampai tidak sanggup. Aku terbujur kaku berdiri di lorong gang sempit ini.
Semakin jelas suara seorang wanita tua bernyanyi sambil menyinden. Dalam nada suara pelan, ringkih dan halus tajam dengan khas Jawa. Aku hanya terdiam menahan nangis mendengar lirikan dengungan lagu tersebut karena aku mengenal jelas lagu tersebut.
“…….sliramu tumeking sirno
Ojo Tangi nggonmu guling
…jo ngetoro…
…… kang tak utusi
…….kang tak utusi
dadyo sebarang
Wojo lelayu sebet….”
Tiba-tiba suara benda-benda berjatuhan terasa begitu nyata pada kupingku. Aku masih tidak bisa bergerak barang satu inci pun. Air mataku mulai menangis. “lingsir wengi….”, gumamku lirih dalam hati.
Sebuah tangan menyentuh kaki kiriku. Tangan yang sangat dingin, kasar, dan begitu kelam. Aku menengok ke bawah. Dengan mata telanjang aku melihat, satu buah tangan berwarna putih kebiruan pekat menggenggam erat kakiku. Jari-jarinya panjang dan tidak sebanding dengan ukuran telapak tangannya. Jari kukunya berwarna hitam sangat dan menggores kulit kakiku hingga mengeluarkan darah. Aku berusaha berontak namun tetap percuma. Diriku kini hanyalah sebuah boneka manekin belaka.
Kini terdengar semakin jelas lagu tersebut di kepalaku. Terngiang-ngiang suara nenek yang dulu sering menyanyikan lagu tersebut di depan keluarga besar diiringi ritual persembahan hewan. Adegan itu begitu nyata ku ingat dalam gelap sebuah ruangan kecil yang kuintip diam-diam lima belas tahun lalu.
“Lingsir wengi sliramu tumeking sirno

Ojo Tangi nggonmu guling
awas jo ngetoro
aku lagi bang wingo wingo”

            Sebuah hembusan napas begitu dingin tepat berada di tengkuk leher belakangku. Tangan di kaki kiriku tiba-tiba menggenggam keras hingga serasa tulang patah. Air mata mengalir begitu deras dari pelupuk mataku. Helaian rambut panjang jatuh menutupi pandanganku ke depan. Hembusan napas dingin itu kembali menyentuh tengkuk belakang leherku. Mati rasa diriku kini mendengar jelas lagu tersebut dinyanyikan.
“jin setan kang tak utusi

jin setan kang tak utusi
dadyo sebarang
Wojo lelayu sebet”


“Lingsir wengi sliramu tumeking sirno

Ojo Tangi nggonmu guling
awas jo ngetoro
aku lagi bang wingo wingo

jin setan kang tak utusi

jin setan kang tak utusi
dadyo sebarang
Wojo lelayu sebet”


            Alunan gamelan  beserta lirik lagu lingsir wengi itu kini merajai tubuhku hingga ke rongga-rongga terkecil sekalipun. Mendadak aku merasakan betapa damai diriku. Suara kaki kuda melangkah menjauh terdengar samar-samar. Tetapi langsung ku teringat pesan nenek, “suara yang jauh menunjukkan bahwa dia sedang di dekat kita…”, bisiknya kepadaku dulu.
            Aku tersungkur jatuh mendadak. Masih kurasakan denyut sakit kakiku yang mungkin sekarang menyisakan bekas biru kemerahan berbentuk genggaman telapak tangan. Tubuhku serasa begitu habis tenaga. Kulihat bulan purnama yang kini bukan putih bercahaya tetapi berwarna merah darah.
            Aku menangis pelan dan mulai bernyanyi lirih….
“Lingsir wengi sliramu tumeking sirno

Ojo Tangi nggonmu guling
awas jo ngetoro
aku lagi bang wingo wingo

jin setan kang tak utusi

jin setan kang tak utusi
dadyo sebarang
Wojo lelayu sebet”


Namaku Dina – umurku 28 tahun. Aku dinyatakan tewas akibat perampokan dan tabrak lari. Disinyalir pelaku meninggalkan diriku tergeletak dalam kondisi hidup dengan kepala bocor. Akibat pendarahan di kepala akhirnya aku menghembuskan napas terakhir. Di kota besar kasus ini sudah begitu biasa terjadi namun yang mereka tidak ketahui kala itu telah terjadi peristiwa lain.

Namaku Dina – umurku 28 tahun. Aku tewas demi harta kekayaan dan kerakusan keluargaku sendiri. Perkiraanku aku dikorbankan sebagai tumbal pesugihan karena kondisi keuangan yang sedang memburuk, sedihnya hal itu dilakukan oleh ibuku sendiri.

Namaku Dina – umurku 28 tahun. Inilah diriku yang bercerita, sejujurnya sesungguhnya kesepian di lorong gang sempit ini. Bernyanyilah dan kunjungi diriku disini. Kapan saja…..
“Lingsir wengi sliramu tumeking sirno

Ojo Tangi nggonmu guling
awas jo ngetoro
aku lagi bang wingo wingo

jin setan kang tak utusi

jin setan kang tak utusi
dadyo sebarang
Wojo lelayu sebet”



Kamis, 02 April 2015

MENYIBAK KEINDAHAN TANAH PAPUA






            Source: Instagram @alenia259

Alenia Pictures kembali membuat sebuah film yang memaparkan keindahan Papua. Lewat film perdana mereka, kita mengenal Denias Senandung di Atas Awan (2006) yang menceritakan tentang perjuangan seorang anak suku pedalaman Papua bernama Denias dalam mendapatkan pendidikan yang layak. Pada tahun 2008, film yang disutradarai oleh John de Rantau ini masuk seleksi Piala Oscar untuk kategori film asing. Kini mereka kembali memperlihatkan keindahan papua melalui film dokumenter berjudul  Alenia’s Journey Uncover Papua.
            Alenia’s Journey Uncover Papua, sebuah film dokumenter yang tidak hanya menceritakan tentang tantangan selama perjalanan menyusuri Papua namun  juga memperlihatkan bagaimana hal-hal positif yang berada di Papua yang meliputi lingkungan, pendidikan, sosial dan budaya. Film yang memakan waktu selama 80 hari dengan jarak kurang lebih 30.000 kilometer dengan mendatangi 30 kota, 120 distrik atau kecamatan, dan 250 kampung ini juga memberikan banyak inspirasi, salah satunya melalui cerita orang-orang yang telah mengabdikan hidupnya di Tanah Papua. 
            Perjalanan dokumenter ini dilakukan oleh pasangan sineas Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen yang dimulai dari bulan 10 Desember 2014 dari Kota Jayapura. Selama perjalanannya begitu banyak lika-liku yang dihadapi oleh mereka, terjebak di Tagime adalah salah satunya. Rombongan Alenia Pictures sempat terjebak tanah longsor di Kecamatan Tagime, Kabupaten Tolikara, Papua. Jalanan putus dan selama berjam-jam mereka harus menyibak longsoran tanah agar mobil bisa kembali melanjutkan perjalanan.
            Titik mengharukan pun mereka dapatkan ketika melihat semangat rakyat di Eragayam, Kabupaten Mamberamo Tengah yang ingin mendapatkan pendidikan layak. Warga berkorban membangun sendiri jalan menuju sekolah dengan alat seadanya, betapa besar semangat murid dan guru yang berada di daerah terpencil, terjauh dan tersulit dijangkau itu.
            Seluruh pengalaman yang terangkum dalam 13 episode ini akan mulai diceritakan di Metro TV mulai tanggal 04 April 2015 pukul 16.00 WIB. Tentunya film dokumenter ini adalah sebuah bukti betapa kaya dan indahnya tanah Papua.


Trailer film dokumenter Alenia’s Journey Uncover Papua :



Source:

http://entertainment.kompas.com/read/2014/12/11/143706310/Ale.dan.Nia.Jelajahi.Papua.dan.Papua.Barat.80.Hari

http://hiburan.kompasiana.com/televisi/2015/02/02/nia-dan-ale-80-hari-berkeliling-papua--720887.html

http://entertainment.kompas.com/read/2015/02/01/165428410/Ale.dan.Nia.Tertanam.di.Papua