Siang ini diiringi
rintik hujan yang mengalun membentuk alunan musik pada atap sebuah bangunan bakery ternama di kota Bandung seolah
mendukung pemuda itu untuk terus memperhatikan seorang gadis yang duduk di
sudut lain dari bakery tersebut. Ia
mengenal gadis itu. Gadis yang sedang membaca sebuah buku child-fiction karya Richelle Mead ditemani secangkir teh hangat dan
satu slice rainbow cake tidak mengetahui bahwa sepasang mata yang tak ia kenal
kehadirannya mengekor pada setiap gerak yang ia buat. Pemuda itu lalu teringat
pada saat-saat ia mengetahui keberadaan gadis itu di universitas tempatnya
menimba ilmu.
Gadis pemalu… ia selalu
menundukan wajahnya. Mangsa tepat bagi para manusia yang dengan bangga
menjadikan dirinya setingkat lebih tinggi dari mahasiswa-mahasiswa baru itu.
Matanya masih tertuju pada gadis berambut panjang tersebut. Setidaknya, bagi
pemuda penguntit ini, gadis itu memiliki rambut panjang. Matanya hangat dan
coklat, tubuhnya yang tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu kurus menjadikannya
santapan mata bagi para pria kehausan seperti pemuda ini. Gadis yang tidak
macam-macam. Menarik.
“Aahh…” gerakan dari gadis yang ada
dipikirannya membuatnya tertarik ke alam nyata. Gadis itu kini sedang
merenggangkan tubuhnya yang kaku setelah 30 menit tak merubah posisi duduknya.
Ia menaruh bukunya dan mulai menggarap cake
yang ada dihadapannya. Belum habis kue itu ia santap, gadis itu telah
berlari keluar lalu masuk kedalam keandaraan yang ia bawa. ‘Hhhh… satu hari lagi telah terbuang sia-sia… tingkat kebodohanmu meningkat!
Selamat!’ rutuk pemuda itu yang akhirnya dengan kecewa dan membereskan
kertas-kertasnya yang berserakan di sekitar mejanya dan ikut meninggalkan
tempat indah itu lalu ia memandang sketsa yang telah sejak dulu ia buat untuk
gadis itu. ‘Lain kali aku harus
benar-benar memberikan sketsa ini dengan imbalan mengetahui namanya!’ lalu
pemuda itu melangkah pergi sambil tertawa kecil atas kebodohannya. Ia tahu
siapa nama gadis itu.
***
Matahari
telah menyapa diufuk timur, bersamaan dengan bunyi dering telepon genggam milik
gadis bermata coklat hangat. Ia telah terbangun oleh suara yang dikeluarkan
mesin yang paling dibutuhkan manusia pada masa ini. Gadis itu berlari menaiki
tangga demi mendapatkan telepon genggamnya. Sebuah pesan yang sudah ada sejak 3
jam yang lalu terus beranak. Temannya ingin Ia menjemputnya. 8 pesan hanya
dengan isi yang serupa. Kesal, ia melemparkan telepon genggamnya ke tempat
peraduan. Gadis itu telah bersiap menuju universitasnya. Hanya saja, malas
masih menggelayuti kakinya dengan mesra.
“Pagi, Pak.” Sapanya ramah pada
supir yang sudah hampir 10 tahun mengabdi pada keluarganya. “Sudah sarapan?
Nasi goreng bibi enak loh! Jangan ngelap mobil terus.” Ia memang diajarkan
orangtuanya untuk selalu ramah pada seluruh karyawan yang bekerja pada
keluarganya. Menghargai orang lain. Itu yang menjadi pusat pikirannya. “Udah,
neng. Sekarang pergi sendiri atau mau saya antar?” Ucap Pak Sugimin ramah
sambil mengangguk ke arah gadis itu. “Sendiri, Pak. Bapak nanti sama Ibu aja
yaa. Mari, Pak… saya pergi dulu.” Saat gadis itu menaiki mobilnya, Pak Sugimin
kembali memanggilnya. “Neng, tadi saya nemu ini udah nempel di kaca depan.” Pak
Sugimin memberikan secarik kertas pada gadis itu yang disambutnya dengan
kerutan jelas di dahinya. Sebuah sketsa seorang gadis yang sedang duduk di
suatu tempat. “Bagus ya neng! Oh iya itu di belakang ada tulisannya.” Gadis itu
membalik kertas terbut dan membaca sebuah kalimat indah dari penulisnya.
-Pagi ini matahari menyinariku
kearahmu… Kau akan mengenalku dan aku akan mengenalmu, gadis bermata coklat
hangat.-
“Iya, Pak. Bagus ya… tapi saya nggak
kenal siapa yang ngasih. Mudah-mudahan yang ngasihnya sebaik lukisannya ya pak.
Saya pergi dulu ya, Pak.”
***
Indah
siang ini disinari hangat matahari dan di aliri hawa segar dari angin yang
bertiup manja menyapu kulit setiap insan yang ada. Pemuda itu kembali terjebak
dalam keasyikannya memperhatikan setiap manusia yang bergerak disekelilingnya.
Terus ia memperhatikan individu itu, lalu ia curahkan seluruhnya dalam sebuah
kanvas kosong yang kini mulai terisi penuh. Tangannya asik terus menari hingga
akhirnya matanya menangkap gerak si gadis bermata coklat hangat. Tangannya kini
terdiam, namun matanya tetap liar. Terpaku ia menatap gadis yang diimpikannya
hingga gadis itu hilang ditelan kerumunan massa. Disaat itulah ia baru membalik
kertasnya dan menumpahkan segala hal yang telah matanya rekam. Segera setelah
itu sebuah lukisan tentang seorang gadis tercipta, kali ini ia menamainya.
Plumila Ruby.
***
“Mila! Ada yang mencarimu.” Seorang
teman menariknya kembali kedunia nyata. Mila sedang asik membaca buku barunya.
Hadiah dari sahabatnya yang kini kesulitan ia temui. “Dia ada didepan kelas
209a. Kesana ya… dari tadi soalnya dicarinya.” Temannya pun menyelinap
kebelakang barisan bangku kelas. Mila tercenung. ‘Siapa yang mencarinya?’ Berjalan
ia menyusuri lorong menuju tempat orang yang mencarinya. Kembali ia berpikir,
mengapa ia memiliki keyakinan untuk tetap melangkahkan kaki bertemu manusia
yang mencarinya itu. Pikirannya terus berpusat pada hal-hal yang negative
hingga ada suara lembut yang memanggil namanya, mengusik seluruh bulu tangan
dan tengkuknya, bukan usikan mistik yang menyeramkan, karena Mila dapat
merasakan kehangatan yang mengalir di dadanya hingga ke perutnya. Seorang
pemuda yang gagah –jika tidak dapat dibilang tampan- tidak hitam namun juga
tidak putih menghampirinya. Mata pemuda itu hitam, rambutnya yang rapi dan
entah bermodel apa membuat Mila yakin atas kesalahan pikirnya. Pria itu
menggenggam secarik kertas. Kertas kanvas yang serupa dengan yang tadi pagi
ditemukan oleh Pak Sugimin di depan kaca depan mobilnya.
“Hai, Ruby.” Mila tertegun. Hanya
ada satu orang yang pernah memanggilnya dengan nama itu. Orang yang sangat ia
rindukan kehadiran fisiknya. “Saya Rion, satu tingkat diatas kamu.” Rion
bingung menghadapi Ruby yang tak bergeming dan hanya menatapnya. “Saya hanya
ingin memberikan kamu ini.” Rion memberikan sebuah kertas yang, meski lama
tetap diterima oleh Mila. “Itu kamu hari ini. Setidaknya itu yang saya lihat.
Semoga kamu suka, Ruby.” Rion membalikan tubuhnya siap melangkah pergi
meninggalkan Mila. “Mila.” Rion terdiam dan menatap Mila seolah gadis itu baru
saja menyatakan cinta. “Panggil saya Mila. Siapa nama lengkap kamu?” Kini Rion
yang terdiam. Ia mengarahkan telunjuknya ke hidunya. Isyarat yang menanyakan
‘nanya saya?’. Mila tertawa melihat kelakuan makhluk yang telah memberinya
sketsa indah itu. “Saya sedang berbicara denganmu. Tentu saja saya menanyakan
tentangmu. Siapa nama lengkapmu, Rion?”
Mila memainkan alis kirinya saat menyebut nama pemuda itu. Rion tersenyum,
bertransformasi dari diamnya lalu kembali duduk. Mengajak Mila dalam prosesnya.
Mereka berdampingan. Rion harus membuat perbincangan ini lama. Dan berkesan.
“Apa artinya nama lengkap?”
“Tanpanya kamu tak akan bisa
menentukan nama panggilanmu. Nama yang benar-benar berarti bagimu.”
“Bukankah kita baru akan
berkenalan?”
“Bukankah baik berkenalan secara
formal. Dan itu akan lebih adil. Kamu tau nama lengkap saya. Maka saya harus
tau nama lengkap kamu.”
“Cukup adil.” Rio menyunggingkan
senyumnya. Baru beberapa menit kebersamaan mereka berlalu, tapi satu senyuman
itu telah berhasil membuat Mila lemas. “Aprion. Aprion Imtiyaz Maladzan.” Rio menjulurkan
tangannya yang disambut Mila. Kali ini dengan semangat. “Mila. Plumila Ruby
Sadewa.” Percakapan yang ia harapkan berjalan lama harus pupus. Mila harus
memasuki ruang kelasnya. Tapi senyum tetap melekat di bibir Rion. Pemuda itu
cukup merasa terkesan. Ia mendapatkan apa yang ia inginkan. Nama sang gadis
meski ia telah mengetahui itu sebelumnya. “Hhhh… Plumila Ruby Sadewa.”
***