Pages

Kamis, 26 Maret 2015

[MOVIE REVIEW] INSURGENT


Hallo lagi blogger!  Kemaren gue baru aja nonton Insurgent. Sebagai salah satu penyuka buku berceritakan dystopia fantasy, ini adalah salah satu buku kesukaan gua setelah trilogi The Hunger Games!! 
Pertama-tama mari kita bicarakan tentang buku Insurgent ini. Pada bukunya cerita berpusat kepada Beatrice ‘tris’ Prior dan Four yang dinyatakan sebagai traitor (pengkhianat) karena melakukan penyerangan kepada faksi Dauntless padahal saat itu mereka berusaha menyelamatkan yang sedang dikendalikan untuk menyerang faksi Abgenation. Sehingga mau tidak mau mereka harus melakukan penyerangan yang kemudian menjadi serangan balik bagi mereka oleh Jeanine dengan memberikan tuduhan palsu.
Perburuan terhadap mereka pun berlanjut dan semakin berkembang dengan melakukan pencarian dan analisa terhadap ‘divergent’. Pencarian tersebut pun dimaksudkan untuk membuka kotak sejarah yang ternyata hanya dapat dibuka oleh divergent. Maka dari itu perburuan semakin berlanjut dan ketat.
Secara garis besar, itu lah fokus utama buku Insurgent yang kemudian terbagi lagi menjadi dua bagian tentang ‘suku luar’ yang ternyata dimana kota yang mereka huni adalah sebuah eksperimen untuk keberlangsungan manusia. Namun disayangkan, fokus itu menghilang karena filmnya hanya mengambil bagian fokus perburuan divergent.
Tetapi jangan salah sangka kalau menghilangkan bagian itu sama halnya dengan menghancurkan konstruksi cerita dalam bukunya. Melalui film yang di adaptasi dari novel, ternyata film Insurgent mampu membawa nalar cerita lebih baik ketimbang novelnya. Kita masih bisa dibikin bernafas lega dengan filmnya ketimbang membaca bukunya.
Membaca buku insurgent serasa membaca sebuah plot cerita bukan sebuah cerita utuh, itulah kelemahannnya namun untungnya filmnya mengerti hal itu sehingga memangkas bagian yang mungkin bisa di jadikan fokus kepada Allegience nantinya.
Sebagai tambahan, film ini juga akan memuat banyak adegan kekerasan karena disini lah masa dimana semua faksi bergerak untuk melawan Jeanine ditambah dengan kekuasaan Factionless yang diam-diam telah mengumpulan kaum pemberontak di pimpin oleh ibu four.
Overall, menonton film ini bisa jadi nyaman atau tidak nyaman. Nyaman bagi mereka yang membaca bukunya dan tidak nyaman bagi mereka yang tidak membaca bukunya. Kenapa? Karena masih tetap terlihat hanya rangkaian plot tanpa membuka tabir kondisi Tris. Seakan loncat dari satu scene ke scene lain tanpa ada jeda sedikit pun.
Penampilan Shailane Woodley disini lebih baik ketimbang film sebelumnya, jangan lupakan chemistry-nya dengan Theo James yang semakin membuat banyak sirik kaum kawula muda.. yang jomblo.
Dari segi efek serta pengkameraan semua sesuai porsinya sehingga kenyamanan secara visual bisa didapatkan secara main cast semua mempunyai keunggulan masing-masing dan sesuai dengan karakter pada filmnya. Habis nonton film ini tentunya gue sangat nunggu kelanjutan film selanjutnya!


Senin, 23 Maret 2015

Pengendalian Malaria oleh PT Freeport Indonesia


Meskipun Papua begitu kaya akan keindahan alam, seperti hutan-hutan lebat, danau serta pulau-pulau kecil nan cantik yang menjadi suguhan paling eksotik, namun ternyata berkunjung kesana bukan berarti tanpa resiko. Wabah malaria adalah salah satu dari kasus penyakit paling serius di Papua sehingga kemungkinan terkena sangat besar.
Angka penderita malaria di Papua begitu besar bahkan mencapai 489 ribu kasus malaria klinis di tahun 2012. Oleh karena itu, dibutuhkan beberapa pengendalian terhadap wabah ini walau terdapat beberapa tantangannya, seperti keterbatasan akses pelayanan kesehatan, kesinambungan jangkauan, kualitas diagnosis dan lain-lain.
Untuk menekan laju pertumbuhan wabah malaria tersebut maka PT Freeport Indonesia dan Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK) bekerja sama dalam sebuah program pengendalian malaria dan sanitasi. Salah satunya adalah mengendalikan penyebaran malaria di Kabupaten Mimika bersama Community Health Development (CHD) dengan membangun sekitar 40 tangki penyimpanan air hujan, 18 sumur, dan 25 jamban keluarga di Otakwa dan Kokonau. Bahkan pemerintah pusat juga mendukung program akselerasi sanitasi masyarakat melalui pembuatan buku profil sanitasi dan dokumen perencanaan sanitasi Kabupaten Mimika yang dikerjakan oleh kelompok kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan. Kelompok tersebut merupakan bentuk sinergi antara PTFI, LPMAK, dan Pemerintah.
Perjuangan pencegahan tersebut tidak berakhir sampai disitu. Sebuah program baru pun diadakan, yaitu penyediaan Kartu Malaria sebagai bentuk penanganan penyakit tersebut yang merupakan kolaborasi antara PT Freeport Indonesia dengan International SOS PHMC “Public Health and Malaria Control”.
Kartu ini sangat berguna bagi teman-teman yang hendak atau akan dan telah mengunjungi Papua, terutama Kota Timika sebagai tempat endemic malaria.  Penggunaan kartu ini difungsikan untuk memberikan layanan informasi dan rekomendasi IGD atau rumah sakit yang tepat untuk menangani masalah penyakit tropis tersebut.
Perhatikan baik-baik kondisi teman-teman saat atau telah pulang dari Papua, beberapa gejala malaria meliputi, menggigil, demam tinggi, berkeringat, sakit kepala, pegal-pegal, badan terasa lelah, mual, muntah, dan diare. Gejala tersebut mirip seperti penyakit flu, jika Anda merasakan gejala ini dalam kurun waktu 7 hari hingga 6 bulan sejak kedatangan maka diindikasikan Anda terkena malaria. Dengan penanganan yang tepat maka malaria dapat disembuhkan.


 KARTU PERINGATAN MALARIA

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi:
Industrial Public Health & Malaria Control
e-mail: health_advisor@fmi.com
tel: (+62) 901-431-111 / 90-442-298
ISOS Assistance Centre (Jakarta): (+62) 21-750-6001


Referensi :  http://aderiska-loveandknowledge.blogspot.com/2015/03/kartu-malaria-dari-papua-timika-pt.html
 



Rabu, 11 Maret 2015

Gadis Bermata Coklat

            Siang ini diiringi rintik hujan yang mengalun membentuk alunan musik pada atap sebuah bangunan bakery ternama di kota Bandung seolah mendukung pemuda itu untuk terus memperhatikan seorang gadis yang duduk di sudut lain dari bakery tersebut. Ia mengenal gadis itu. Gadis yang sedang membaca sebuah buku child-fiction karya Richelle Mead ditemani secangkir teh hangat dan satu slice rainbow cake tidak mengetahui bahwa sepasang mata yang tak ia kenal kehadirannya mengekor pada setiap gerak yang ia buat. Pemuda itu lalu teringat pada saat-saat ia mengetahui keberadaan gadis itu di universitas tempatnya menimba ilmu.

Gadis pemalu… ia selalu menundukan wajahnya. Mangsa tepat bagi para manusia yang dengan bangga menjadikan dirinya setingkat lebih tinggi dari mahasiswa-mahasiswa baru itu. Matanya masih tertuju pada gadis berambut panjang tersebut. Setidaknya, bagi pemuda penguntit ini, gadis itu memiliki rambut panjang. Matanya hangat dan coklat, tubuhnya yang tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu kurus menjadikannya santapan mata bagi para pria kehausan seperti pemuda ini. Gadis yang tidak macam-macam. Menarik.

            “Aahh…” gerakan dari gadis yang ada dipikirannya membuatnya tertarik ke alam nyata. Gadis itu kini sedang merenggangkan tubuhnya yang kaku setelah 30 menit tak merubah posisi duduknya. Ia menaruh bukunya dan mulai menggarap cake yang ada dihadapannya. Belum habis kue itu ia santap, gadis itu telah berlari keluar lalu masuk kedalam keandaraan yang ia bawa. ‘Hhhh… satu hari lagi telah terbuang sia-sia… tingkat kebodohanmu meningkat! Selamat!’ rutuk pemuda itu yang akhirnya dengan kecewa dan membereskan kertas-kertasnya yang berserakan di sekitar mejanya dan ikut meninggalkan tempat indah itu lalu ia memandang sketsa yang telah sejak dulu ia buat untuk gadis itu. ‘Lain kali aku harus benar-benar memberikan sketsa ini dengan imbalan mengetahui namanya!’ lalu pemuda itu melangkah pergi sambil tertawa kecil atas kebodohannya. Ia tahu siapa nama gadis itu.

***
Matahari telah menyapa diufuk timur, bersamaan dengan bunyi dering telepon genggam milik gadis bermata coklat hangat. Ia telah terbangun oleh suara yang dikeluarkan mesin yang paling dibutuhkan manusia pada masa ini. Gadis itu berlari menaiki tangga demi mendapatkan telepon genggamnya. Sebuah pesan yang sudah ada sejak 3 jam yang lalu terus beranak. Temannya ingin Ia menjemputnya. 8 pesan hanya dengan isi yang serupa. Kesal, ia melemparkan telepon genggamnya ke tempat peraduan. Gadis itu telah bersiap menuju universitasnya. Hanya saja, malas masih menggelayuti kakinya dengan mesra.
            “Pagi, Pak.” Sapanya ramah pada supir yang sudah hampir 10 tahun mengabdi pada keluarganya. “Sudah sarapan? Nasi goreng bibi enak loh! Jangan ngelap mobil terus.” Ia memang diajarkan orangtuanya untuk selalu ramah pada seluruh karyawan yang bekerja pada keluarganya. Menghargai orang lain. Itu yang menjadi pusat pikirannya. “Udah, neng. Sekarang pergi sendiri atau mau saya antar?” Ucap Pak Sugimin ramah sambil mengangguk ke arah gadis itu. “Sendiri, Pak. Bapak nanti sama Ibu aja yaa. Mari, Pak… saya pergi dulu.” Saat gadis itu menaiki mobilnya, Pak Sugimin kembali memanggilnya. “Neng, tadi saya nemu ini udah nempel di kaca depan.” Pak Sugimin memberikan secarik kertas pada gadis itu yang disambutnya dengan kerutan jelas di dahinya. Sebuah sketsa seorang gadis yang sedang duduk di suatu tempat. “Bagus ya neng! Oh iya itu di belakang ada tulisannya.” Gadis itu membalik kertas terbut dan membaca sebuah kalimat indah dari penulisnya.
-Pagi ini matahari menyinariku kearahmu… Kau akan mengenalku dan aku akan mengenalmu, gadis bermata coklat hangat.-
            “Iya, Pak. Bagus ya… tapi saya nggak kenal siapa yang ngasih. Mudah-mudahan yang ngasihnya sebaik lukisannya ya pak. Saya pergi dulu ya, Pak.”

***
Indah siang ini disinari hangat matahari dan di aliri hawa segar dari angin yang bertiup manja menyapu kulit setiap insan yang ada. Pemuda itu kembali terjebak dalam keasyikannya memperhatikan setiap manusia yang bergerak disekelilingnya. Terus ia memperhatikan individu itu, lalu ia curahkan seluruhnya dalam sebuah kanvas kosong yang kini mulai terisi penuh. Tangannya asik terus menari hingga akhirnya matanya menangkap gerak si gadis bermata coklat hangat. Tangannya kini terdiam, namun matanya tetap liar. Terpaku ia menatap gadis yang diimpikannya hingga gadis itu hilang ditelan kerumunan massa. Disaat itulah ia baru membalik kertasnya dan menumpahkan segala hal yang telah matanya rekam. Segera setelah itu sebuah lukisan tentang seorang gadis tercipta, kali ini ia menamainya. Plumila Ruby.

***
            “Mila! Ada yang mencarimu.” Seorang teman menariknya kembali kedunia nyata. Mila sedang asik membaca buku barunya. Hadiah dari sahabatnya yang kini kesulitan ia temui. “Dia ada didepan kelas 209a. Kesana ya… dari tadi soalnya dicarinya.” Temannya pun menyelinap kebelakang barisan bangku kelas. Mila tercenung. ‘Siapa yang mencarinya?’ Berjalan ia menyusuri lorong menuju tempat orang yang mencarinya. Kembali ia berpikir, mengapa ia memiliki keyakinan untuk tetap melangkahkan kaki bertemu manusia yang mencarinya itu. Pikirannya terus berpusat pada hal-hal yang negative hingga ada suara lembut yang memanggil namanya, mengusik seluruh bulu tangan dan tengkuknya, bukan usikan mistik yang menyeramkan, karena Mila dapat merasakan kehangatan yang mengalir di dadanya hingga ke perutnya. Seorang pemuda yang gagah –jika tidak dapat dibilang tampan- tidak hitam namun juga tidak putih menghampirinya. Mata pemuda itu hitam, rambutnya yang rapi dan entah bermodel apa membuat Mila yakin atas kesalahan pikirnya. Pria itu menggenggam secarik kertas. Kertas kanvas yang serupa dengan yang tadi pagi ditemukan oleh Pak Sugimin di depan kaca depan mobilnya.
            “Hai, Ruby.” Mila tertegun. Hanya ada satu orang yang pernah memanggilnya dengan nama itu. Orang yang sangat ia rindukan kehadiran fisiknya. “Saya Rion, satu tingkat diatas kamu.” Rion bingung menghadapi Ruby yang tak bergeming dan hanya menatapnya. “Saya hanya ingin memberikan kamu ini.” Rion memberikan sebuah kertas yang, meski lama tetap diterima oleh Mila. “Itu kamu hari ini. Setidaknya itu yang saya lihat. Semoga kamu suka, Ruby.” Rion membalikan tubuhnya siap melangkah pergi meninggalkan Mila. “Mila.” Rion terdiam dan menatap Mila seolah gadis itu baru saja menyatakan cinta. “Panggil saya Mila. Siapa nama lengkap kamu?” Kini Rion yang terdiam. Ia mengarahkan telunjuknya ke hidunya. Isyarat yang menanyakan ‘nanya saya?’. Mila tertawa melihat kelakuan makhluk yang telah memberinya sketsa indah itu. “Saya sedang berbicara denganmu. Tentu saja saya menanyakan tentangmu. Siapa nama lengkapmu, Rion?” Mila memainkan alis kirinya saat menyebut nama pemuda itu. Rion tersenyum, bertransformasi dari diamnya lalu kembali duduk. Mengajak Mila dalam prosesnya. Mereka berdampingan. Rion harus membuat perbincangan ini lama. Dan berkesan.
            “Apa artinya nama lengkap?”
            “Tanpanya kamu tak akan bisa menentukan nama panggilanmu. Nama yang benar-benar berarti bagimu.”
            “Bukankah kita baru akan berkenalan?”
            “Bukankah baik berkenalan secara formal. Dan itu akan lebih adil. Kamu tau nama lengkap saya. Maka saya harus tau nama lengkap kamu.”
            “Cukup adil.” Rio menyunggingkan senyumnya. Baru beberapa menit kebersamaan mereka berlalu, tapi satu senyuman itu telah berhasil membuat Mila lemas. “Aprion. Aprion Imtiyaz Maladzan.” Rio menjulurkan tangannya yang disambut Mila. Kali ini dengan semangat. “Mila. Plumila Ruby Sadewa.” Percakapan yang ia harapkan berjalan lama harus pupus. Mila harus memasuki ruang kelasnya. Tapi senyum tetap melekat di bibir Rion. Pemuda itu cukup merasa terkesan. Ia mendapatkan apa yang ia inginkan. Nama sang gadis meski ia telah mengetahui itu sebelumnya. “Hhhh… Plumila Ruby Sadewa.” 

***