Pages

Jumat, 09 Mei 2014

Kebijakan Minerba Amatiran

Setuju nggak kalo gw bilang "Kebijakan larangan ekspor mentah akan merugikan perekonomian nasional dan gagal di masa depan"? Oke, kebijakan ini sekilas terlihat bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tapi coba deh liat, usaha pengolahan dan pemurnian (smelter) dalam negerinya sendiri nggak ada kepastian hukum. Nggak maksimal. Padahal Indonesia masih menjanjikan banget buat investasi pertambangan, secara negeri ini punya cadangan mineral terbesar di kawasan Asia Tenggara.

Memang, larangan ekspor mineral mentah ini diharapkan membuka kesempatan untuk membangun industri pengolahan dan pemurnian hasil tambang alias industri smelter di dalam negeri sebelum SDAnya diekspor. Smelter ini sendiri diharapkan bisa membuka lapangan kerja baru (tapi Jawa lagi, Jawa lagi. Sempit), meningkatkan perolehan nilai tambah, juga menambah penerimaan pajak dan devisa negara. Merdeka!

Menurut salah satu ahli perekonomian Indonesia, Anwar Ibrahim, kebijakan di sektor minerba ini justru punya beberapa kelemahan. Ini gw bikin poin-poinnya:

1. Aturan buatan menteri ESDM ini menyamaratakan seluruh jenis hasil tambang. Padahal, struktur dan persaingan pasar tiap minerba ini berbeda satu sama lain.

2. Modal untuk membuat smelter sangat besar karena perlu pembangunan infrastruktur pendukung seperti pelabuhan laut, jalan raya, dan telekomunikasi. Pengoperasiannya yang menggunakan teknologi canggih memerlukan segelintir teknisi berpendidikan tinggi yang belum tentu dimiliki negara ini.

Di lain pihak, nilai tambah hasil pengolahan smelter ini sangat sedikit, bahkan bisa negatif. Padahal investasi yang diperlukan untuk mengurangi pengangguran dan kemiskinan adalah industri padat karya yang dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak.

source: cumilebay.com

source: jpnn.com


3. Perubahan kebijakan mendadak. Di sini yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Keuangan No 6/PMK011/2014 11 Januari lalu yang menggantikan larangan ekspor minerba dengan pengenaan Bea Keluar (BK) dengan tarif progresif dari 20% pada 2014 menjadi 60% pada paruh kedua 2016.

Dari perubahan kebijakan yang mendadak ini, kita bisa ngeliat bahwa belum adanya pemikiran matang tentang pembuatan strategi di sektor pertambangan. Padahal sektor ini penting juga kan peranannya buat perekonomian Indonesia. Ketidakpastian peraturan dan kebijakan ekonomi berakibat sama ketidakpastian usaha dalam industri pertambangan juga.

4. Peraturan Menteri Keuangan (di poin no 3 tadi) membagi mineral dalam dua kategori. Pertama, bijih besi, mangan, lead, dan zinc. Emenite dan Titanium yang boleh diekspor setelah 12 Januari 2014 harus dalam bentuk konsentrat. Kedua, nikel, bauksit, timah, emas, perak, chromium dan beberapa hasil tambang lainnya baru boleh diekspor setelah memenuhi tingkat pengolahan tertentu yang ditetapkan pemerintah.

Peraturan ini memberi tenggang waktu sampai dua tahun (2016) untuk mendirikan smelter. Padahal, pembangunan smelter memerlukan waktu minimal lima tahun termasuk juga pembangunan infrastrukturnya. Dikata Sangkuriang kali, bisa bikin smelter cepet...

5. Potensi muncul masalah politik, apalagi kalau investor buat membangun smelter tambahan ini dari Rusia dan RRT, dua saingannya AS. Berdasarkan aturan yang dibuat pemerintah, perusahaan smelter milik Rusia dan RRT ini akan membeli bijih tambang (ore) dari perusahaan penambangan AS dengan harga lebih rendah dibandingkan harga pasar dunia.

Saat ini, sekitar 97% bijih nikel di Indonesia diproduksi Freeport dan Newmont, punyanya AS. Kapasitas pabrik smelter yang ada baru mampu mengolah sekitar 600.000 ton atau sekitar 15% dari ketetapan pemerintah. Di lain pihak, kalau nggak ada tambahan kapasitas pengolahan setelah 2016, berbagai perusahaan pertambangan termasuk Freeport, Newmont, dan Vale bakal terpaksa mengurangi kegiatannya.

6. UU No 4 tahun 2009 (UU Minerba), Kepmen ESDM, dan Kepmenkeu yang bersifat serba negara bertolak belakang dengan sistem pasar dan perdagangan bebas yang ingin dicapai oleh Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) maupun RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership) dan TPP (Trans-Pacific Partnership).

7. Timing pengenalan kebijakan hilirisasi minerba udah terlambat karena boom komoditas primer sudah usai sejak akhir 2011, sebelum Permen ESDM No 7/2012 diterbitkan. Penurunan harga minerba telah menurunkan penerimaan perusahaan pertambangan.

Di sisi lain, beban pembayaran bunga pinjaman makin meningkat terutama bagi mereka yang mengandalkan pinjaman dari bank-bank asing dalam mata uang asing. Peningkatan beban utang berkaitan dengan mulai meningkatnya tingkat suku bunga internasional sehubungan dengan pengurangan secara bertahap suntikan likuiditas pada perekonomian oleh bank-bank sentral negara-negara maju di AS, Uni Eropa, dan Jepang. Beban bunga dalam rupiah juga makin besar karena ada erosi nilai tukar rupiah terhadap valuta asing.

Source: http://www.starbrainindonesia.com/berita/media/33702/5/kebijakan-minerba-amatiran

2 komentar:

Titis Ayuningsih mengatakan...

Andaikan freeport dikelola 100 % sama Indonesia, dapat dipastikan rakyatnya sejahtera!

Unknown mengatakan...

Sebelum berangan-angan kayak gitu, mending kita berdoa dulu supaya pemerintahannya nggak korup. Sekarang juga udah bisa sejahtera kok kalo dana yg disalurin Freeport ke pemerintah dan pihak-pihak berwenang jelas penyalurannya.

Posting Komentar