Pages

Selasa, 04 Maret 2014

Nasionalisasi: Karena Peduli atau cuma untuk Kepentingan Pribadi?

Gw suka bingung sama orang yang ribut-ribut minta perusahaan asing dinasionalisasi. Atau sama tokoh yang berkoar-koar pentingnya menasionalisasikan perusahaan asing.

Gw lahir di Indonesia. Sampai detik ini belum pernah ke luar negeri malah *curhat*. Tentu, gw cinta negara ini. Tapi dalam beberapa hal, gw merasa ada hal-hal yang lebih baik dikelola oleh pihak asing.

Misalnya industri tambang. Yup, negara kita kaya. Dan sebagian kekayaannya udah diolah kaum pribumi. Sebagiannya lagi dikelola pihak asing. Inilah yang kemudian bikin orang ribut-ribut menyuarakan 'nasionalisasi' perusahaan asing. Argumen sederhana gw gini deh. Kalau perusahaan-perusahaan besar itu dinasionalisasi, yakin gitu nggak akan ada korupsi? Lha wong perusahaan dalam negeri aja suka nggak jelas aliran dananya dari dan ke mana. Yakin juga gitu 'pemerintah' bakal bisa mengelola sumber daya alamnya lebih baik? Dengan keterbatasan teknologi?



Suatu hari, ketemulah satu artikel yang menguatkan argumen gw. Kalau di artikel ini yang dibahasnya adalah Freeport Indonesia, perusahaan yang identik sama tambang emas.Yang sering disebut keuntungannya super besar dan sedikit kontribusinya ke Indonesia padahal nggak segitunya juga. Yang ada, Freeport udah memajukan daerah Papua terutama Timika tapi banyak yang nggak mau 'terima'.

Ini gw sadur artikel lengkapnya ya:

Nasionalisasi dan Ribuan Trilyun Kebohongan
Oleh: Poltak Hotradero

Ribuan Trilyun. Dan saya terhenyak.


Kata-kata “Ribuan Trilyun” adalah besaran yang digambarkan oleh seorang Calon Presiden (dalam sebuah debat calon presiden di Laporan Khusus Liputan6 SCTV) - tentang jumlah uang (dalam Rupiah) yang katanya bisa diperoleh Rakyat Indonesia dengan menasionalisasi berbagai asset yang saat ini dianggapnya dimiliki oleh pihak “asing”.


Nama yang paling duluan disebut adalah Freeport, yang bila logika tidak mengkhianati saya – mungkin dimaksud sebagai bagian terbesar dari Asset yang dikuasai “asing”.


Namun, ada beberapa masalah:Pertama. Saya tidak tahu dari mana datangnya angka “Ribuan Trilyun” Rupiah. Ribuan Trilyun Rupiah adalah angka yang menggambarkan gigantisme. RAPBN 2009 saja cuma berada pada angka sekitar SATU RIBU Trilyun. Ribuan Trilyun Rupiah tentu berarti angka yang jauh lebih besar daripada RAPBN 2009.


Saya coba periksa database saya – untuk bisa memperoleh data tentang seberapa besar perusahaan yang bernama Freeport McMoran. Karena perusahaan ini berstatus sebagai perusahaan publik (public listed company) – maka tidak sulit bagi saya untuk memperoleh angka – bahwa Freeport memiliki omzet (angka penjualan) hampir USD 17 Milyar. Dari angka ini, Laba Operasional Freeport McMoran adalah USD 6,5 Milyar, di mana selanjutnya setelah dipotong pajak, royalti, dan lain-lain – maka Laba Bersih Freeport McMoran pada tahun 2007 adalah USD 2,7 Milyar.


Besarkah angka USD 2,7 Milyar (sekitar Rp. 25 Trilyun)? Tentu saja akan relatif. Bagi saya pribadi angka itu maha besar, kerja seumur hidup pun tidak sanggup saya capai.


Tetapi ajaibnya, bila dibandingkan dengan keuangan Republik Indonesia — angka itu terbilang liliput. Dengan output ekonomi Indonesia yang besarnya lebih dari Rp. 4000 Trilyun per tahun – maka laba tahunan Freeport itu sama dengan output ekonomi Indonesia selama: DUA HARI ENAM JAM EMPAT PULUH LIMA MENIT… 


Lebih parah lagi, laba Freeport sebesar USD 2,7 Milyar itu, ternyata hanya SEBAGIAN yang berasal dari unit operasi mereka di Indonesia. Status Freeport McMoran sebagai perusahaan publik – sangat memudahkan saya mencari tahu dari mana saja asal penerimaan Freeport McMoran. (Tidak seperti banyak BUMN Indonesia yang bahkan tidak bisa saya ketahui berapa modalnya, apalagi ke mana pergi duitnya)


Berdasarkan data yang mereka rilis kepada Otoritas Pasar Modal Amerika (SEC) – maka dapat saya peroleh angka bahwa hanya sekitar 12,4% saja angka penjualan mereka yang berasal dari Indonesia. Bagian terbesar penjualan Freeport McMoran adalah dari Amerika dan Jepang. Berdasar fakta ini, maka juga cukup logis bila kontribusi Indonesia bagi laba Freeport juga tidak sebesar yang digembar-gemborkan. Politisi meributkan pepesan yang (nyaris) kosong…


Dan bila dilihat dalam perspektif sejarah – laba Freeport tahun 2007 adalah yang terbesar, karena pada tujuh tahun yang lalu (tahun 2001) misalnya – omzet tahunan Freeport McMoran cuma USD 1,8 Milyar – atau cuma sepersembilan angka saat ini. Hingga tahun 2006, duit kiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dari luar negeri – masih jauh lebih besar daripada laba tahunan Freeport McMoran.


Kedua. ”Asing” adalah istilah yang sangat relatif. Bagi saya “Chin Shih Huang Ti” bukan sesuatu yang asing. Saya tahu siapa Kaisar Pertama China tersebut. Saya juga tahu apa yang ia kerjakan, dan bahkan saya sampai tahu dia itu sebenarnya anak siapa, dan mengapa ia sampai membunuh anak kandung ibunya sendiri.


Tetapi jelas bahwa bagi mereka yang bukan pecinta sejarah China kuno, nama Chin Shih Huang Ti adalah asing. Kalau dibilang itu nama babah pedagang klontong dari Glodok – mungkin mereka akan manggut-manggut saja. Toh sama asingnya.


Atas hal itu, maka saya tidak pernah setuju dengan definisi “asing” bila hanya atas unjuk seseorang. Bagi saya, nama Fajroel sama asingnya dengan Moffett. Nama Aburizal Bakrie pun sama asingnya dengan Idi Amin.


Itu sebabnya saya tidak gampang percaya pada orang yang menunjukkan sikap anti asing. Apalagi kalau sampai bercita-cita merampas pemilikan asing – dengan alasan apapun. Siapapun bisa diadili dan berhak memperoleh keadilan. Bila memang ada perusahaan asing (atau lokal) yang cedera janji, ya silahkan diadili. Diberi hak membela diri. Hanya bisa dinyatakan bersalah bila memang telah terbukti bersalah. Dan bila memang benar — wajib dilindungi.


Seorang politisi yang langsung bicara soal “nasionalisasi” — memberi contoh buruk mengenai sikap terhadap hukum.


Lebih jauh lagi. Menasionalisasi Freeport jelas tidak menyelesaikan masalah. Kita tidak tahu, akan di-oper-kan ke siapa lagi Freeport bila dinasionalisasi. Bisa jadi cuma akan berputar-putar di antara kroni-kroni politisi. Kendati nilai Freeport kecil untuk ukuran Indonesia — tetapi angka itu cukup besar untuk membiayai politik kotor, dan merusak tatanan politik kita.


Dan kita tahu persis bahwa ini sudah terjadi di berbagai BUMN, di mana setiap menjelang Pemilu muncul preman partai minta setoran…


Saya sangat yakin, kalau Freeport di-BUMN-kan, ini pun akan terjadi. Jargon “demi kemakmuran nasional” hanyalah omong kosong. Mengapa? Karena duit Rp. 25 Trilyun (laba tahunan Freeport McMoran) kalau dibagi ke seluruh penduduk Indonesia — masing-masing cuma akan kebagian Rp. 100 ribu setahun – atau kira-kira 300 perak per hari per orang…! Apa orang se-Indonesia bisa makmur dengan angka segitu…? Bayar pemakaian WC Umum saja nggak cukup!

(dan kalau kita ikut menghitung pendapatan dari Indonesia yang cuma sekitar 12% dari pendapatan Freeport McMoran — silahkan anda hitung sendiri berapa laba Freeport kalau di-BUMN-kan…)

Dengan melihat angka itu, maka sangat jelas bahwa ide tentang “nasionalisasi asset strategis selektif” — didasarkan pada ilusi. Tidak ada angka “ribuan trilyun rupiah”. Tidak ada kemakmuran dari perampasan asset. Yang tersisa hanya Ribuan Trilyun Kebohongan. Dan sungguh celaka bila itu muncul dari mulut seorang calon presiden. Baru calon saja kok sudah berani memprogramkan pencurian. Baru calon saja kok sudah menjual kebohongan.


Dan sekalipun Rp. 25 Trilyun terlalu kecil untuk ekonomi sebesar Indonesia, sepersejuta dari angka itu pun bahkan terlalu besar untuk membiayai politik kotor ataupun untuk mengotori politik Indonesia lewat setoran duit.


Biarkan perusahaan asing tetap menjadi milik asing. Benar-benar asing. Semakin asing semakin bagus, sejauh semakin menguntungkan Indonesia. Toh banyak nama-nama kita kenal (dan terlampau kita kenal) – justru merusak dan menghancurkan ekonomi Indonesia. Sudah berjilid-jilid nama-nama terkenal itu berjejer.Asing atau lokal tidak masalah. Yang penting perusahaan itu bayar pajak, menyetor royalti, dan patuh pada hukum Indonesia. Kita tidak butuh kroni-kroni baru. Tidak dari Suharto. Tidak dari SBY. Tidak juga dari seorang (calon) Presiden.


…karena kita pun sesungguhnya asing di mata orang, sehingga ukuran kita sepatutnya adalah perbuatan dan sikap.

source: http://akademimerdeka.org/2013/10/07/nasionalisasi-dan-ribuan-trilyun-kebohongan/
photo: official site PTFI

2 komentar:

Fandhy Achmad R mengatakan...

nasionalisasi jaman sekarang mah kebanyakan cuma buat pencitraan doang mbak, apalagi pas mau pemilu. Nasionalisasi digembar gemborkan, abis kepilih seolah menguap begitu saja, korupsi lanjut terus. Nasionalisasi cuma buat kepentingan pribadi..

Unknown mengatakan...

Iya makanya. Yang ngakunya 'pemerintah' kan cuma janji2 manis aja plus ngelebih2in fakta. Koar-koar nasionalisasi tanpa ada solusi. Mending pertahanin yang udah ada selama itu memang bagus kan :)

Posting Komentar